Jumat, 02 April 2010

HUKUM DAGANG INTENASIONAL (BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL


A. Pendahuluan
Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari yang berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi untuk melahirkan suatu sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului dengan penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi. Jika cara penyelesaian negosiasi gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase. Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase. Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul. Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS (Alternatif
Penyelesaian Sengketa ).
B. Para Pihak Dalam Sengketa Perdagangan Internasional
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa subjek hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu Negara, perusahaan atau individu dan lain-lain. Dalam uraian berikut, para pihak yang menjadi pembahasan dibatasi pada pihak pedagang (badan hukum atau individu) dan Negara. Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasannyapun dibatasi hanya antara pedagang dan pedagang, kemudian pedagang dan Negara asing.
1. Sengketa Antara Pedagang dan Pedagang.
Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi. Sengketa seperti ini terjadi hamper setiap hari. Sengketa ini diselesaikan melalui berbagai cara. Cara penyelesaian ini tergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak.
Kesepakatan dan kebebasan akan menentukan forum pengadilan yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Di samping itu kesepakatan dan kebebasan ini akan menentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan
pengadilan yang mengadili sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para pihak merupakan hal yang essensial. Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebabasan tersebut ada batas-batasnya. Biasanya batas-batasnya adalah tidak melanggar Undang-Undang dan ketertiban umum.
2. Sengketa Antara Pedagang dan Negara Asing
Sengketa antara pedagang dan Negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-kontrak dagang antara pedagang dan Negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Permasalahan akan muncul terkait dengan adanya konsep imunitas suatu Negara yang diakui oleh hukum internasional. Konsep imunitas ini paling tidak berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan penyelesaian sengketanya. Masalah utamanya adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu Negara dalam situasi apa pun tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing. Namun demikian, hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak sematamata mengakui atribut Negara sebagai subjek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subjek hukum internasional terbatas. Oleh karena itu, dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperii, yaitu tindakan-tindakan Negara di bidang public dalam kapasitasnya sebagai suatu Negara yang berdaulat, serta jure gestiones, yaitu tindakan-tindakan Negara di bidang keperdataan atau dagang. Oleh karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak lain adalah tindakan-tindakan Negara dalam kapasitasnya seperti orang-peorangan (pedagang atau privat), sehingga tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Oleh karena itu, tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian menimbulkan sengketa dapat saja diselesaikan dihadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase dan lain-lain. Sebaliknya Negara-negara yang mengajukan bantahannya bahwa suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili Negara sebagai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini.
C. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsipprinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati. Termasuk dalam lingkup pengertian kesepakatan ini adalah :
a. bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya.
b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak, artinya pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting kedua adalah prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means). Prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak, artinya penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya diselesaikan) oleh badan peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono ).
Prinsip kebebasan untuk memilih hukum ini adalah sumber dimana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa.
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap, yang pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara Negara, kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkahlangkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu Negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).
D. Forum Penyelesaian Sengketa
Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya. Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta54 fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati oleh para pihak.
Cara-cara penyelesaian sengketa tersebut diatas telah dikenal dalam berbagai Negara dan sistem hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang diakui dalam sistem hukum nasional suatu negara, misalnya, hukum nasional Indonesia, dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari dengan cara negosiasi tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik. Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannyapun didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.
Kelemahan utama dalam penggunaan cara penyelesaian ini adalah : (1) ketika para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak yang kuat berada dalam posisi ntuk menekan pihak lainnya. Hal ini sering terjadi ketika kedua belah pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka; (2) proses berlangsungnya negosiasi acap kali lambat dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini terjadi karena sulitnya permasalahan yang terjadi diantara para pihak. Selain itu, jarang sekali ada persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi ini; (3) ketika salah satu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif. Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat didalamnya perlu dibedakan sebagai berikut :
(1) negosiasi digunakan ketika suatu sengketa belum lahir (disebut sebagai konsultasi); (2) negosiasi digunakan ketika suatu sengketa telah lahir. Prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negosiasi).
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta aktif dalam proses negosiasi. Biasanya negosiator dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral, berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Usulan-usulan penyelesaian sengketa melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasi-informasi yang diberikan oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya.
Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Oleh karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulanusulan yang dapat mengakhiri sengketa. Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Hal yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mediator. Gerald Cooke menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai berikut : “where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause”.
Cooke juga mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat, artinya para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Ketika para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat, yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu dengan pengadilan atau arbitrase.
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seorang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan
penyelesaian yang diterima oleh pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Dalam tahap pertama, sengketa 9yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menuerahkan lporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Usulan ini sifatnya tidak mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.
4. Arbitrase
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara suka rela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase
sementara (ad hoc). Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini banyak dimanfaatkan untuk menyelesaikan sengketa adalah :
a. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase relative lebih cepat daripad proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam system peradilan. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
b. Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah sifat kerahasiannya, baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
c. Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih “hakimnya” (arbiter) yang menurut mereka netral dan ahli mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para phak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli, tetapi juga arbiter tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja seorang arbiter pimpinan perusahaan, insinyur, ahli asuransi, ahli perbankan dan lain-lain.
d. Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila para pihak menghendakinya).
e. Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di Negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Dalam praktek, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan “Arbitrase”. Kadang-kadang istilah lain yang digunakan adalah “choise of forum “ atau “choise of jurisdiction”. Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choise of forum berarti pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase. Istilah choise of jurisdiction berarti pilihan tempat di mana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada srbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause). Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan bentuk tertulis sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase.
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan yurisdiksi arbitrase, artinya klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul tersebut biasanya ditegaskan bahwa jika timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan (negeri) suatu Negara tertentu. Kemungkinan lain para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada baan pengadilan internasional. Salah satu badan peradlan yang menangani sengketa dagang ini misalnya WTO. Namun perlu ditekankan di sini bahwa WTO hanya menangani sengketa antar Negara anggota WTO. Umumnya sengketa lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau Negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan Negara lain anggota WTO yang merugikannya. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Namun, penyerahan sengketa ke Mahkamah intenasional menurut hasilpengamatan beberapa sarjana kurang begitu diminati oleh Negara-negara. Alasan F.A. Mann menyatakan “hasil kerja” Mahkamah internasional ini “suram”, pada dasarnya karena dua alasan; (1) kurang adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk perkaranya; (2) kurangnya keahlian atau kemampuan
Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau perdagangan internasional. Selain itu, pengadilan-pengadilan permanent internasional ini juga yurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada Negara saja,
misalnya Mahkamah Internasional. Sementara itu, kegiatan-kegiatan atau hubunganhubungan perdagangan internasional dewasa ini peranan subjek-subjek hukum
perdagangan internasional non Negara juga penting. Bentuk badan pengadilan lain adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan permanent, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih popular, terutama dalam kerangka suatu organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian perdagangan internasional. Faktor penting yang mendorong Negara-negara untukmenyerahkan sengketanya kepada badan-badan peradilan seperti ini karena : (1) hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum; (2) adanya perasaan dari sebagian bear Negara yang kurang percaya kepada suatu badan peradilan internasional) yang dianggap kurang tepat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan internasional.
E. Penutup
Setelah mahasiswa mempelajari materi mengenai penyelesaian sengketa dalam perdagangan internasional, maka diharapkan mahasiswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Sebut dan Jelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa
perdagangan internasional
2. Jelaskan prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa perdagangan
internasional
3. Sebut dan jelaskan forum penyelesaian sengketa perdagangan
internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Ade Maman Suherman. 2004. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Bogor : Ghalia
Indonesia.
Amir M.S. 2001. Letter Of Credit : Dalam Bisnis Ekspor Impor. Edisi 2. Jakarta : PPM.
________. 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta : PPM.
Amirizal. 1999. Hukum Bisnis : Risalah Teori dan Praktek. Jakarta : Djambatan.
Chairil Anwar. 1999. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Novindo Pustaka
Mandiri.
Huala Adolf. 2003. Arbitrase Komersial Internasional. Cet 3. Jakarta : Rajagrafindo.
__________. 2002. Hukum Ekonomi Internasional; Suatu Pengantar. Cet. 3. Jakarta :
Rajawali Pres
_________. 2002. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, cet. 3. Jakarta :
Rajawali Pres.
_________. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Mariam D Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis, Cetakan I. Bandung : Alumni.
Moch. Faizal Salam. 2001. Pertumbuhan Hukum Bisnis Indonesia. Bandung : Pustaka.
Ramlan Ginting. 2000. Letter of Credit : Tinjauan Aspek hukum dan Bisnis. Jakarta :
Salemba Empat.
Roselyne Hutabarat. 1989. Transaksi




Sumber Tulisan :
http://ocw.unnes.ac.id/ocw/hukum/ilmu-hukum-s1/pb342142-hukum-dagang-internasional/isi.pdf


Komentar Saya :
Setelah saya membaca tulisan tersebut saya menjadi mengerti tentang Penyelesaian Sengketa Dalam Perdagangan Internasional yakni mengenanai:
Para Pihak Dalam Sengketa Perdagangan Internasional
1. Sengketa Antara Pedagang dan Pedagang
2. Sengketa Antara Pedagang dan Negara Asing
B. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
C. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Arbitrase
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)


Menurut saya tulisan tersebut sangat membantu untuk memberikan pengetahuan bagi mahasiswa ataupun masyarakat luas guna mengetahui tentang hukum perdagangan internasional khususnya mengenai Penyelesaian Sengketa Dalam Perdagangan Internasional.

HUKUM DAGANG INTENASIONAL (BAB VI DOKUMEN-DOKUMEN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)

BAB VI
DOKUMEN-DOKUMEN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL



A. Pendahuluan
Dalam perdagangan internasional ada beberapa macam dokumen yang berperan. Dokumen-dokumen tersebut dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Dokumen Pendahuluan
Biasanya sebelum suatu kontrak jual beli ditandatangani, maka terlebih dahulu dibuat beberapa dokumen pendahuluan. Bentuk dokumen pendahuluan ini bervariasi. Bahkan untuk perdagangan yang rutin, ada kecenderungan untuk menggantikan dokumen pendahuluan dengan hanya mengangkat telepon saja. Atau kalaupun ada dokumen pendahuluan sering juga tidak diikuti oleh dokumen-dokumen lainnya. Di antara macam-macam dokumen pendahuluan, yang sangat lazim dilakukan adalah apa yang disebut dengan Letter of Offer (to buy or to sell), atau Letter of Intent. Apabila dokumen tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka hal tersebut telah mengikat kedua belah pihak, kecuali jika dalam isi dokumen tersebut dinyatakan sebaliknya. Contoh lain dari dokumen yang dapat dikategorikan sebagai dokumen pendahuluan adalah apa yang disebut Sale Confirmation atau dokumen-dokumen lain yang senada dengan itu.
2. Dokumen Pokok
Dokumen pokok adalah kontrak jual beli itu sendiri. Seperti telah disebutkan bahwa tidak selamanya kontrak jual beli ini ada dalam suatu transaksi perdagangan internasional. Terkadang hanya cukup dengan kontrak pendahuluan saja.
3. Dokumen Tambahan
Selain dari dokumen pendahuluan dan dokumen pokok, masih banyak lagi dokumen yang menyertai suatu transaksi jual beli internasional. Hal ini disebabkan karena : (1) tempat penjual dengan pembeli berjauhan sehingga diperlukan seberkas dokumen pengiriman, dan (2) Negara dari penjual dengan pembeli berbeda, sehingga diperlukan dokumen-dokumen ekspor impor. Adapun yang yang lazim menjadi dokumen tambahan dalam perdagangan internasional antara lain :
a. Letter of Credit (L/C)
b. Commercial Invoice, yakni yang berisikan penjelasan tentang barang yang dikirim.
Di samping itu terdapat pula yang disebut Proforma Invoice, yaitu invoice yang diterbitkan
untuk sementara, dan Consulaire Invoice, yang merupakan invoice yang diterbitkan oleh
perwakilan Negara importer.
c. Dokumen Transportasi, yang biasanya terdiri dari :
1) Bill Of Lading atau disebut juga dengan istilah “Konosemen” yang menurut pasal 506 KUHD,
berarti suatu dokumen yang bertanggal, dalam mana pengangkut menerangkan telah
menerima barang tertentu untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan tertentu dan
menyerahkan barang dimaksud kepada orang tertentu, begitu pula menerangkan tentang
syaratsyarat penyerahan barangnya.
2) Good Receipt, yaitu suatu bukti tanda terima barang dari pihak yang
mengangkut barang, yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pihak pengangkut tersebut.
3) Mates Receipt. Merupakan suatu keterangan yang diterbitkan oleh perusahaan pelayaran
dan ditandatangani oleh kapten kapal. Isinya menyatakan bahwa barang (dengan
spesifikasinya) telah dimuat dalam kapal.
4) Air Waybill. Dokumen ini dipergunakan jika pengangkutan dilakukan lewat udara.
5) Dokumen transportasi darat atau kereta api. Road/Railway Transport Document ini
dikeluarkan oleh perusahaan angkutan darat atau kereta api, jika barang dikirim lewat darat
atau kereta api.
6) Draft atau Wesel. Merupakan suatu surat perintah bayar sejumlah uang tertentu tanpa
syarat kepada pihak tertentu seperti disebutkan dalam draf tersebut.
7) Dokumen Asuransi. Jika barang yang dikirim tersebut diasuransikan, maka diperlukan juga
seperangkat dokumen untuk keperluan tersebut.
8) Dokumen lain-lain, seperti :
a) Laporan Pemeriksaan Surveyor.
b) Certificate of Origin
c) Packing List
d) Certificate of Weight (Weight List)
e) Certificate of Inspection.
f) Lain-lain (untuk komoditi tertentu), seperti :
(1) Certificate of Quality.
(2) Certificate of Health
(3) Test Certificate
(4) Manufactures Certificate
(5) Tally Sheet
(6) Log List
(7) Dan lain-lain.
Secara garis besar ada beberapa hal yang seringkali ada dan merupakan pasal-pasal dalam
suatu kontrak jual beli internasional, yaitu :
a. tentang barang yang dijual
b. tentang hak dan kewajiban para pihak
c. tentang harga barang
d. tentang cara pembayaran
e. tentang waransi yang diberikan oleh pihak penjual dan batas-batasnya.
f. Garansi dan indemnifikasi oleh pihak penjual jika adanya kerugian yang
disebabkan oleh produk yang dijualnya.
g. Tentang force majeure
h. Tentang terminasi perjanjian
i. Tentang hukum yang berlaku dan pengadilan yang berwenang.
j. Dan lain-lain.
Ada beberapa hal yang harus dicermati dalam menandatangani suatu International Sale
Contract yaitu hal-hal berikut :
1. Cara Pembayaran
2. Fluktuasi Nilai Tukar Uang
3. Persyaratan Transportasi
4. TanggungJawab Produksi
5. Force Majeure
6. Ganti Rugi Likuidasi (Liquidated Damages)
7. Pilihan Hukum Asing-Domestik
B. Penutup
Setelah mahasiswa mempelajari dan memahami materi dalam perkuliahan
mengenai dokumen dalam perdagangan internasional, maka diharapkan mahasiswa
dapat menjelaskan mengenai dokumen-dokumen yang berlaku dalam perdagangan
internasional.



Sumber Tulisan :
http://ocw.unnes.ac.id/ocw/hukum/ilmu-hukum-s1/pb342142-hukum-dagang-internasional/isi.pdf


Komentar Saya :
Setelah saya membaca tulisan tersebut saya menjadi mengerti tentang Dokumen-dokumen Dalam Perdagangan Internasional yakni mengenanai:
Dokumen Pendahuluan
Dokumen Pokok
Dokumen Tambahan
Menurut saya tulisan tersebut sangat membantu untuk memberikan pengetahuan bagi mahasiswa ataupun masyarakat luas guna mengetahui tentang hukum perdagangan internasional khususnya mengenai Dokumen-dokumen Dalam Perdagangan Internasional.

HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (BAB V SISTEM PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL)

BAB V
SISTEM PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN
INTERNASIONAL


A. Pendahuluan
Perkembangan dalam sistem pembayaran dari benda yang diperjualbelikan secara internasional, yaitu dari awalnya pembayaran barang dengan barang atau barter sampai dengan metode pembayaran dengan memakai uang, kemudian dikenal metode-metode pembayaran canggih yang terjadi saat ini, yaitu metode pembayaran yang dapat memproteksi kepentingan ke dua belah pihak misalnya lewat pembayaran dengan sistem letter of credit (L/C). semua metode pembayaran tersebut secara yuridis sah, asal sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Namun perlu diperhatikan bahwa terhadap beberapa bentuk pembayaran, terdapat pengaturan yuridis dalam sistem hukum lokal Negara tertentu. Ataupun terhadap beberapa bentuk, bahkan terdapat konvensi-konvensi internasional yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak.

B. Metode Pembayaran Dalam Perdagangan Internasional
Dalam hukum dagang internasional, dewasa ini berkembang beberapa metode pembayaran yang telah merubah system pembayaran dalam transaksi jual beli internasional, diantaranya yang lazim adalah sebagai berikut :

1. Metode Pembayaran Terlebih Dahulu (Advance)
Metode pembayaran terlebih dahulu adalah suatu sistem pembayaran, dimana pihak eksportir (penjual) akan mengirimkan barang dagangannya setelah eksportir (penjual) menerima pembayaran harga barang tersebut. Sistem pembayaran seperti ini sangat menguntungkan dan sangat aman bagi pihak eksportir (penjual) tetapi sangat tidak aman bagi pihak importer (pembeli). Sebab, setelah uang diterima oleh pihak eksportir, berbgai kemungkinan atas barang objek jual beli dapat terjadi. Bisa jadi barang tersebut tidak sesuai dengan pesanan, hilang ditengah jalan, atau karena sesuatu hal dan lain hal bahkan barang tersebut tidak dikirim sama sekali oleh pihak eksportir. Karena itu, metode pembayaran secara advance ini sangat jarang diikuti dalam praktek, kecuali dalam hal-hal seperti :
a. Jika bonafiditas dan kejujuran pihak eksportir sudah dikenal dikalangan pedagang secara luas.
b. Jika ada hubungan khusus antara eksportir dengan importer, misalnya ada hubungan
saudara, hubungan teman atau hubungan antara perusahaan yang terafiliasi dalam satu group
usaha.
c. Jika transaksi tersebut terhadap order barang-barang yang harganya relative rendah. Misalnya pemesanan dengan surat atas pembelian buku, atau benda-benda lainnya.
2. Metode Pembayaran Secara Open Account
Metode pembayaran dengan open account ini adalah sebagai kebalikan dari metode pembayaran terlebih dahulu (advance). Terhadap metode dengan open account, barang yang bersangkutan dikirim terlebih dahulu kepada importer (pembeli), kemudian setelah barang diterima oleh pihak importer (pembeli), baru dibayar sebagai hutang. Karena itu, sistem open account ini tentunya sangat tidak aman bagi pihak eksportir berhubung adanya kemungkinan pembayaran yang tidak sesuai dengan perjanjian, kurang atau terlambat pembayaran, atau bahkan karena sesuatu dan lain hal, harga tidak dibayar sama sekali. Sistem pembayaran secara open account ini sering dilakukan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan atau dengan perusahaan yang terafiliasi, ataupun dilakukan jika terdapat good record dari pihak importer. Salah satu variasi dari system pembayaran secara open account ini adalah jika barang dikirim secara rutin sedangkan pembayaran dilakukan secara periodic, misalnya dibayar tiap tiga bulan sekali.
3. Metode Pembayaran Berdasarkan Konsinyasi
Metode pembayaran atas dasar konsinyasi ini merupakan suatu variasi lain dari sistem pembayaran dengan open account. Dalam sistem konsinyasi, pihak investor juga baru akan membayar harga setelah barang diterimanya. Hanya saja dalam hal ini, pihak importer menerima barang tersebut untuk kemudian menjual lagi kepada pihak ketiga. Kemudian setelah barang tersebut laku terjual kepada pihak ketiga dan telah dibayar harganya oleh pihak ketiga tersebut, baru kemudian harganya setelah dipotong selisihnya dikirim kepada pihak eksportir (penjual semula).
Pembayaran harga secara konsinyasi kepada pihak eksportir (penjual semula) tersebut biasanya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Apakah dengan langsung mengirim harga kepada pihak eksportir setelah dipotong selisih
harga untuk tiap-tiap jula beli;
b. Atau harga baru dibayar kepada eksportir dalam waktu tertentu setelah barang laku terjual
kepada pihak ketiga;
c. Ataupun jika jual beli dilakukan secara rutin, harga dibayar setelah pihak ketiga membayar
harga, tetapi kepada eksportir (penjual semula) oleh importer dibayar harganya secara
periodic. Ini berarti sekali bayar untuk beberapa pengiriman.
4. Metode Pembayaran Secara Documentary Collection
Banyak juga transaksi dagang internasional yang melakukan pembayaran harga barang secara documentary collection, yaitu lewat penggunaan dokumen yang disebut Bills Of Exchange. Dalam hal ini pihak importer harus membayar harga barang setelah shipping documents tiba di banknya importer. Pembayaran harga tersebut dipertukarkan dengan shipping documents yang bersangkutan. Karena itu, tanpa pembayaran harga barang, shipping documents tidak akan diberikan oleh pihak bank. Tanpa shipping documents ditangannya, pihak importer tidak dapat mengambil barang impor yang bersangkutan.
Dalam praktek ada dua macam Bills of Exchange, yaitu clean bills dan documentary bills. Adapun yang dimaksud dengan clean bills adalah bills of exchange yang tidak memerlukan dokumen-dokumen supportive lainnya. Jadi tidak diperlukan misalnya dokumen kepemilikan atas barang tersebut seperti Bill of Lading dan sebagainya. Sementara bentuk lain adalah apa yang disebut dengan documentary bills. Bentuk seperti ini lebih lazim dipraktekkan. Dalam hal ini, suatu bills of exchange haruslah diperkuat oleh dokumen-dokumen supportive lainnya, seperti dokumen kepemilikan barang dan lain-lain.
5. Metode Pembayaran Secara Documentary Credit
Untuk menjembatani kepentingan pihak eksportir agar barang dikirim setelah harga dibayar, sementara pihak importer punya kepentingan agar harga dibayar setelah barang diterima, maka dipakailah sistem pembayaran dengan documentary credit. Dalam hal ini suatu pembayaran dilakukan lewat bank sebagai perantara, tanpa terlebih dahulu menunggu tibanya barang atau tibanya dokumen. Kewajiban ini dilakukan dengan kewajiban dari pihak importer untuk membuka letter of credit (L/C) pada bank di Negara importer, untuk kemudian oleh bank tersebut diteruskan kepada bank di Negara eksportir.
Sistem pembayaran lewat L/C ini dewasa ini sudah diterima secara meluas di kalangan lalu lintas perdagangan internasional. Transaksi perdagangan internasional dengan system pembayaran yang meliputi beberapa metode akan memudahkan pelaksanaan dalam bisnis internasional ini, karena masing-masing pihak tidak perlu lagi mengadakan pembicaraan secara tatap muka, melainkan hanya memilih metode pembayaran yang telah tersedia.

C. Penutup
Setelah memperlajari materi pada bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
1. Jelaskan metode pembayaran advance
2. Jelaskan metode pembayaran secara open account
3. Jelaskan perbedaan antara pembayaran dengan metode advance dan open account
4. Jelaskan metode pembayaran berdasarkan konsinyasi
5. Jelaskan metode pembayaran secara documentary collection
6. jelaskan metode pemabayaran secara documentary credit





Sumber Tulisan :
http://ocw.unnes.ac.id/ocw/hukum/ilmu-hukum-s1/pb342142-hukum-dagang-internasional/isi.pdf

Komentar Saya :
Setelah saya membaca tulisan tersebut saya menjadi mengerti tentang System Pembayaran Dalam Transaksi Perdagangan Internasional yakni mengenanai:
1. Metode Pembayaran Terlebih Dahulu (Advance)
2. Metode Pembayaran Secara Open Account
3. Metode Pembayaran Berdasarkan Konsinyasi
4. Metode Pembayaran Secara Documentary Collection
5. Metode Pembayaran Secara Documentary Credit
Menurut saya tulisan tersebut sangat membantu untuk memberikan pengetahuan bagi mahasiswa ataupun masyarakat luas guna mengetahui tentang hukum perdagangan internasional khususnya mengenai System Pembayaran Dalam Transaksi Perdagangan Internasional.

Senin, 01 Maret 2010

HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (BAB III SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)

A. Pendahuluan

Sumber hukum perdagangan internasional merupakan bab yang penting. Dari sumber hukum inilah kita dapat menemukan hukum tersebut yang kemudian diterapkan kepada suatu fakta tertentu dalam perdgangan internasional.

B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional

Sumber-sumber hukum internasional yang dkenal dalam perdagangan internasional yaitu perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsipprinsip hukum umum dan putusan-putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana terkemuka (doktrin).

1. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum yang terpenting.

Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanian multilateral, regional dan bilateral. Perjanjian internasional atau multilateral adalah kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (Negara) dan tundak pada aturan hukum internasional. Perjanjian regional adalah kesepakatan-kesepakatan di bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh Negara-negara yang tergolong atau berada dalam suatu regional tertentu. Suatu perjanjian dikatakan bilateral ketika perjanjian tersebut hanya mengikat dua subjek hukum internasional (Negara atau organisasi internasional).

a. Daya mengikat Perjanjian (Perdagangan Internasional)

Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya perjanjian intenasional pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu Negara apabila Negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya. Ketika suatu Negara telah meratifikasinya, Negara tersebut berkewajiban untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum nasionalnya. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum nasional Negara tersebut. Kadangkala perjanjian internasional membolehkan suatu Negara untuk tidak menerapkan atau mengecualikan beberapa pengaturan atau pasal dari perjanjian internasional, atau sebaliknya. Salah satu cara lain bagi suatu Negara untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui penundukan secara diam-diam, artinya tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan dan ratifikasi (yang biasanya instrument ratifikasi tersebut didepositokan kepada suatu badan yang berwenang, missal Sekjen PBB), suatu Negara dapat saja mengikatkan dirinya dengan cara mengadopsi muatan suatu perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya.

b. Isi Perjanjian

Muatan yang terkandung didalam perjanjian perdagangan internasional pada umumnya memuat, hal-hal berikut :

1. Liberalisasi perdagangan

Perjanjian yang memuat liberalisasi perdagangan adalah meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, Negara-negara anggota perjanjian internasional berupaya menanggalkan berbagai rintangan pengaturan atau kebijakan (Negara) yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran transaksi perdagangan internasional.

2. Integrasi Ekonomi

Perjanjian internasional berupaya mencapai suatu integrasi ekonomi melalui pencapaian kesatuan kepabeanan (customs union), suatu kawasan perdagangan bebas (free trade zone), atau bahkan suatu kesatuan ekonomi (economic union). Perjanjian seperti ini biasanya memberi kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai tujuan integrasi ekonomi.

3. Harmonisasi Hukum

Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai system hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan)

4. Unifikasi Hukum

Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.

5. Model Hukum dan Legal Guide

Pembentukan model hukum dan legal guide sebenarnya tidak lepas dari upaya harmonisasi. Bentuk hukum seperti ini biasanya ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan disepakati atau diatur. Oleh karena itu, mereka membuat model hukum ini yang sifatnya tidak mengikat.

c. Standar Internasional

Standar internasional adalah norma-norma yang disyaratkan untuk ada di dalam perjanjian internasional, yang merupakan syarat penting didalam tata ekonomi internasional, serta syarat suatu Negara untuk berpartisipasi di dalam transaksi ekonomi internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah :

1.) Minimum Standard atau Equitable Treatment

Minimum Standart adalah norma atau aturan dasar yang semua Negara harus taati untuk dapat turut serta dalam transaksi-transaksi perdagangan internasional. Contoh standar minimum adalah dalam perjanjian-perjanjian dalam bidang perlindungan hak kekayaan intelektual.

2.) Most Favoured Nation Clause

Klausul most favoured nation adalah klausul yang mensyaratkan perlakuan non diskriminasi dari suatu Negara terhadap Negara lain. Menurut Houtte, klausul MNF biasanya diikuti oleh dua sifat cukup penting, yaitu :

a. reciprocal (timbal balik), artinya pemberian MFN ini diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing Negara. Jadi sifatnya timbal balik dan;

b. unconditional (tidak bersyarat), artinya Negara anggota lainnya dalam suatu perjanjian berhak atas perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada Negara ketiga.

3). Equal Treatment

Equal Treatment (perlakuan sama) adalah klausul lainnya yang harus ada dalam perjanjian-perjanjian internasional. Menurut klausul ini, Negara-negara peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan untuk memberikan perlakuan yang sama satu sama lain.

4). Preferential Treatment

Prinsip ini biasanya diterapkan diantara Negara-negara yang memiliki hubungan politis atau ekonomis. Berdasarkan prinsip ini, suatu Negara dapat saja memberikan perlakuan khusus yang lebih menguntungkan (preferential treatment) kepada suatu Negara daripada kepada Negara lainnya.

d. Resolusi-Resolusi Organisasi Internasional

Dewasa ini berbagai organisasi internasional acap kali mengeluarkan keputusan-keputusan berupa resolusi-resolusi yang sifatnya tidak mengikat. Daya mengikat resolusi-resolusi ini biasanya disebut juga sebagai soft law, karena memang Negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum. Akan tetapi, resolusiresolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional kadangkala juga mengikat.

2. Hukum Kebiasaan Internasional

Sebagai sumber hukum, hukum kebiasaan perdagangan merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini logis karena memang para pedaganglah yang mula-mula “menciptakan” aturan hukum yang berlaku bagi mereka untuk transaksi-transaksi dagang mereka. Suatu kebiasaan tidak selamanya menjadi mengikat dan karenanya menjadi hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a) suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari dua pihak (praktek Negara), b) praktek ini diterima sebagai mengikat (opnio iuris sive necessitates).

3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum

Sebenarnya belum ada pengertian yang diterima luas untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum. Peran sumber hukum ini biasanya diyakini lahir, baik dari system hukum nasional maupun hukum internasional.

Sumber hukum ini akan mulai berfungsi ketika hukum perjanjian (internasional) dan hukum kebiasaan internasional tidak memberikan jawaban atas suatu persoalan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan hukum, termasuk hukum perdagangan internasional.

Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia, dan terdapat pula dalam hukum (perdagangan internasional).

4. Putusan-Putusan Badan pengadilan dan Doktrin

Sumber hukum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum sebelumnya tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional). Putusan-putusan pengadilan dalam hukum perdagangan internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang dikenal dalam sistem hukum Common Law. Statusnya paling tidak sama seperti yang kita kenal dalam system hukum continental, bahwa putusan pengadilan sebelumnya hanya untuk mempertimbangkan. Jadi ada semacam kewajiban yang tidak mengikat bagi badanbadan pengadilan untuk mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya (dalam sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional). Begitu pula dengan doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam bidang hukum dagang internasional). Peran dan fungsinya cukup penting dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan hukum. Doktrin ini penting ketika sumber-sumber hukum sebelumnya ternyata tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di bidang perdagangan internasional.

5. Kontrak

Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri.

Para pelaku perdagangan (pedagang) atau stakeholders dalam hukum perdagangan internasional ketika melakukan transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Oleh karena itu, kontrak sangat essensial. Dengan demikian, kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Dalam kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak syarat-syarat perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan para pihak sangatlah essensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasanya, yaitu ;

(1) pembatasan yang umum adalah kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan,

(2) status dari kontrak itu

sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsure asingnya, artinya kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan internasional paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu Negara tertentu),

(3) menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan..

6. Hukum Nasional

Peran hukum nasional sebagai sumber hukum perdagangan internasional mulai lahir ketika timbul sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya yurisdiksi (kewenangan) Negara. Kewenangan Negara ini sifatnya mutlak dan eksklusif, artinya apabila tidak ada pengecualian lain, kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat. Yurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu Negara untuk mengatur segala, (a) peristiwa hukum; (b) subjek hukum; (c) benda yang berada di dalam wilayahnya. Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang internasional atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini, hukum

nasional yang dibuat suatu Negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan,

ketenagakerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HKI hingga perijinan ekspor impor suatu produk. Kewenangan atas subjek hukum (pelaku atau stakeholders) dalam perdagangan intenasional, mencakup kewenangan Negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta syarat-syaratnya, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan (dalam hal perusahaan pailit dan sebagainya). Kewenangan Negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan objek-objek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan, termasuk didalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan lain-lain.

C. Penutup

Setelah mahasiswa mempelajari dan memahami tentang sumber hukum perdagangan internasional, maka diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan sumbersumber hukum perdagangan internasional


DAFTAR PUSTAKA

Ade Maman Suherman. 2004. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Bogor : Ghalia

Indonesia.

Amir M.S. 2001. Letter Of Credit : Dalam Bisnis Ekspor Impor. Edisi 2. Jakarta : PPM.

________. 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta : PPM.

Amirizal. 1999. Hukum Bisnis : Risalah Teori dan Praktek. Jakarta : Djambatan.

Chairil Anwar. 1999. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Novindo Pustaka

Mandiri.

Huala Adolf. 2003. Arbitrase Komersial Internasional. Cet 3. Jakarta : Rajagrafindo.

__________. 2002. Hukum Ekonomi Internasional; Suatu Pengantar. Cet. 3. Jakarta :

Rajawali Pres

_________. 2002. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, cet. 3. Jakarta :

Rajawali Pres.

_________. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Mariam D Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis, Cetakan I. Bandung : Alumni.

Moch. Faizal Salam. 2001. Pertumbuhan Hukum Bisnis Indonesia. Bandung : Pustaka.

Ramlan Ginting. 2000. Letter of Credit : Tinjauan Aspek hukum dan Bisnis. Jakarta :

Salemba Empat.

Roselyne Hutabarat. 1989. Transaksi


Sumber Tulisan :

http://ocw.unnes.ac.id/ocw/hukum/ilmu-hukum-s1/pb342142-hukum-dagang-internasional/isi.pdf


Komentar Saya :

Setelah saya membaca dan memahami tulisan tersebut saya menjadi mengerti tentang sumber-sumber hukum perdagangan internasional. Saya menyimpulkan bahwa tulisan tersebut sangat membantu mahasiswa ataupun masyarakat luas guna mengetahui tentang hukum perdagangan internasioanl.

HUKUM DAGANG INTERNASIONAL (BAB II SUBJEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL)

A. Pendahuluan

Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subjek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional.

Dalam hukum perdagangan internasional, yang dimaksud dengan subjek hukum adalah :

1. para pelaku (stakeholders) dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan, dan

2. para pelaku (stakeholders) dalam perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional.

B. Subjek Hukum Perdagangan Internasional

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa subjek hukum dalam hukum perdagangan internasional adalah :

A. Negara

Negara merupakan subjek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Negara merupakan subjek hukum yang paling sempurna, alasannya :pertama, Negara merupakan satu-satunya subjek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini, Negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya. Dengan atribut kedaulatannya ini, Negara antara lain berwenang untuk membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subjek hukum lainnya (individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya termasuk perdagangan. Kedua, Negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional didunia misal, WTO, UNCTAD,UNCITRAL. Ketiga, Negara juga bersama-sama dengan Negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan. Keempat, Negara berperan juga sebagai subjek hukum dalam posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, Negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Ketika Negara bertransaksi dagang dengan Negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional. Ketika Negara bertransaksi dengan subjek hukum lainnya, hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari salah satu pihak).

Imunitas Negara

Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan Negara

adalah atribut kedaulatan Negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah

bahwa dengan atribut kedaulatan, Negara memiliki imunitas terhadap pengadilan

Negara lain. Arti imunitas disini adalah bahwa Negara tersebut memiliki hak

untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya.

Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas Negara sebagai berikut :

Savereign immunity is a long established precept of public international law

which requires that a foreign government or head of state cannot be sued without its consent. In its traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign”

Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan.

Minimal ada 4 (empat) pembatasan terhadap muatan imunitas suatu Negara, yaitu

pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi dagang, hukum internasional mengakui imunitas Negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum internasional juga mensyaratkan Negara-negara untuk bekerjasama dengan Negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara lain menyatakan bahwa ; … States have the duty to co operate with one another, irrespective of the difference in their political, economic and social system,…

Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa Negara memiliki undang-undang mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas Negaranegara (asing) yang melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap terjadi ketika suatu Negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan yang mengadili persidangan dan Negara tersebut mematuhinya, Negara tersebut dianggap telah

dengan sukarela menanggalkan imunitasnya. Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasan imunitas ini adalah apabila Negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa Negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa dagangnya. Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu Negara untuk hadir dihadapan badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun, masalah sesungguhnya dalam kaitannya dengan pembatasan Negara di hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan

putusan pengadilannya. Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta milik Negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik Negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik. Hukum internasional melarang suatu Negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di pelabuhan suatu Negara asing atau menyita bangunan kedutaan Negara asing. Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap aset-aset yang Negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan public.

B. Organisasi Perdagangan Internasional

Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional memainkan peran yang penting. Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih Negara guna mencapai tujuan bersama. Untuk mendirikan suatu organisasi internasional, perlu dibentuk suatu dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian internasional ini termuat tujuan, fungsi dan struktur organisasi perdagangan

internasional yang bersangkutan.

C. Individu

Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Individulah yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh Negara memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu.

Di banding dengan Negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subjek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature). Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat terbatas, karena, pertama, sengketanya hanya dibatasi untuk sengketasengketa di bidang penanaman modal yang sebelumnya tertuang dalam kontrak.

Kedua, Negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk menjadi anggota konvensi ICSID ( Konvensi Washington 1965). Persyaratan ini bersifat mutlak. Indonesia telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap konvensi ICSID melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968. Status individu sebagai subjek hukum perdagangan internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan di bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-kadang memiliki keuatan mengikat seperti halnya hukum nasional. Disebutkan di atas bahwa individu adalah subjek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature). Subjek hukum lainnya yang

termasuk ke dalam kategori ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.

1. Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui sebagai subjek hukum yang berperan penting dalam perdagangan internasional. Peran ini sangat mungkin karena kekuatan financial yang dimilikinya. Dengan kekuatan finansialnya hukum (perdagangan) internasional berupaya mengaturnya.

Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak boleh campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu Negara. Pasal 2 (2) (b) antara lain berbunyi ; …. Transnational corporation shall not intervene is the internal affairs of a host State

Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan ekonomi suatu Negara. Aturan-aturan yang mengontrol aktivitas MNCs memang perlu untuk menjembatani perbedaan kepentingan antara Negara tuan rumah yang mengharapkanMNCs masuk kedalam wilayahnya dapat memberi kontribusi bagi pembangunan, sementara MNCs bertujuan untuk mencapai target utama perusahaan, yaitu mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya. Oleh karena itu, agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu dapat bertemu, maka perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.

2. Bank

Seperti individu atau MNCs, bank dapat digolongkan sebagai subjek hukum perdagangan internasional dalam arti terbatas. Bank tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan.

Faktor-faktor yang membuat subjek hukum ini penting adalah :

a. peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan.

b. Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di Negara yang penjual dan pembeli.

c. Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum perdagangan internasional, khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan internasional.

C. Penutup

Setelah mahasiswa memperlajari materi pada bab ini, maka mahasiswa diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Sebutkan Subjek hukum dalam hukum perdagangan internasional

2. Jelaskan peranan Negara dalam perdagangan internasional

3. Jelaskan hak Imunitas suatu Negara dalam hukum perdagangan internasional

4. Sebut dan jelaskan pembatasan-pembatasan terhadap hak imunitas suatu Negara

dalam hukum perdagangan internasional

5. Jelaskan peranan bank dalam perdagangan internasional

6. Jelaskan pengertian dari Perusahaan Multinasional

7. Jelaskan keuntungan dan kerugian dari adanya suatu perusahaan multinasional di

suatu Negara.


DAFTAR PUSTAKA

Ade Maman Suherman. 2004. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Bogor : Ghalia

Indonesia.

Amir M.S. 2001. Letter Of Credit : Dalam Bisnis Ekspor Impor. Edisi 2. Jakarta : PPM.

________. 2000. Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri. Jakarta : PPM.

Amirizal. 1999. Hukum Bisnis : Risalah Teori dan Praktek. Jakarta : Djambatan.

Chairil Anwar. 1999. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Novindo Pustaka

Mandiri.

Huala Adolf. 2003. Arbitrase Komersial Internasional. Cet 3. Jakarta : Rajagrafindo.

__________. 2002. Hukum Ekonomi Internasional; Suatu Pengantar. Cet. 3. Jakarta :

Rajawali Pres

_________. 2002. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, cet. 3. Jakarta :

Rajawali Pres.

_________. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Mariam D Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis, Cetakan I. Bandung : Alumni.

Moch. Faizal Salam. 2001. Pertumbuhan Hukum Bisnis Indonesia. Bandung : Pustaka.

Ramlan Ginting. 2000. Letter of Credit : Tinjauan Aspek hukum dan Bisnis. Jakarta :

Salemba Empat.

Roselyne Hutabarat. 1989. Transaksi


Sumber Tulisan :

http://ocw.unnes.ac.id/ocw/hukum/ilmu-hukum-s1/pb342142-hukum-dagang-internasional/isi.pdf


Komentar Saya :

Setelah saya membaca tulisan tersebut saya menjadi mengerti tentang :

  1. Subjek hukum dalam hukum perdagangan internasional
  2. Peranan Negara dalam perdagangan internasional
  3. Hak Imunitas suatu Negara dalam hukum perdagangan internasional

4. Batasan-batasan terhadap hak imunitas suatu Negara

dalam hukum perdagangan internasional

  1. Peranan bank dalam perdagangan internasional
  2. Perusahaan Multinasional

7. Keuntungan dan kerugian dari adanya suatu perusahaan multinasional di

suatu Negara.

Menurut saya tulisan tersebut sangat membantu mahasiswa ataupun masyarakat luas guna mengetahui tentang hukum perdagangan internasional.